Membangkitkan Kembali Sejarah yang Tenggelam: Tan Malaka, Pahlawan Revolusioner yang Terlupakan


Terhamparlah lembar-lembar sejarah yang kini bersemayam dalam kepulan debu, seakan-akan takdir pun tersemat dalam setiap jengkal ruang waktu. Namun, bisikan-bisikan angin masa lalu berhembus dengan riak-riak perubahan yang terpendam dalam cerita zaman. Pelajaran sejarah, entah bagaimana, terkadang seperti bayangan yang terhalang kabut kabar, hanya terpampang wajah-wajah besar, seperti dua matahari yang bersinar terang.

Akan tetapi, benarkah sejarah hanya memancarkan sinar dari dua pilar yang tumbuh dalam bumi perjuangan? Soekarno dan Hatta, nama-nama besar yang terukir dalam pikiran kita, tetapi janganlah kita lupakan, ada satu nama, satu sosok yang menjadi perwakilan segelap waktu, Tan Malaka namanya, sebuah sinar yang pernah menerangi perjalanan gelap kita.

Di balik tirai kabut yang merayap, Tan Malaka, pejuang merah-putih, tak hanya sosok, tapi semangat dalam diri. Bukunya yang berdiri gagah, "Naar de Republiek Indonesia" namanya, di dalamnya tertanam benih konsep "Negara Indonesia," seolah-olah sebuah bijak mengalun dari pena sang pejuang. Karya yang mengilhami hati Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan para pendekar bangsa lainnya, menuai bunga perjuangan dalam lembah kemerdekaan.

Kisah ini tak sekedar catatan kering, ia adalah gemuruh dalam gelombang sejarah, suara yang mengiringi langkah-langkah para bapak, tak hanya sekadar penggalan, tapi bagian dari diri kita. Mohammad Yamin, pena yang gemulai, dengan tinta emas ia menyematkan panggilan: "Bapak Republik Indonesia" untuk Tan Malaka, seorang bayang-bayang yang sebenarnya adalah pilar sejarah terpendam.

Kelahiran Sang Revolusioner

Tan Malaka lahir di Nagari Pandam Gadang, Sumatera Barat, pada tanggal 2 Juni 1897. Awalnya diberi nama Sutan Ibrahim, ia kemudian dianugerahi gelar setengah bangsawan yang diperoleh melalui garis keturunan ibunya, menjadikannya Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka.

Ayahnya, Rasad Caniago, bekerja sebagai karyawan pertanian, sementara ibunya, Sinah Simabur, adalah putri dari keluarga terpandang di desa mereka. Selama hidupnya, Tan Malaka tidak pernah menikah dan memilih menjalani hidup yang mandiri demi perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.

Melihat dari tempat kelahirannya dan situasi sosial di Bumi Minangkabau saat ia tumbuh, dapat dipastikan bahwa Tan Malaka mempelajari Agama Islam dengan mendalam. Ia lahir dalam lingkungan keluarga yang mengikuti agama secara ketat, patuh terhadap ajaran Allah, dan selalu menerapkan prinsip-prinsip Islam.

Pada masa kecil, Tan Malaka juga mempelajari ilmu silat, yang kemudian menjadi keterampilan yang bermanfaat dalam menjaga dirinya. Saat memasuki usia remaja, ia telah menguasai bahasa Arab dan bahkan menjadi seorang guru muda di surau di kampungnya. Pendidikan agama Islam memberikan pengaruh yang kuat dalam hidupnya, memberikan nuansa khusus dalam pola pikir Tan Malaka.

Pendidikan Tan Malaka

Tan Malaka menempuh pendidikan awalnya di Sekolah Dasar (SD) yang pada periode tersebut dikenal sebagai Sekolah Rendah (SR) Suliki. Atas dorongan guru, ia kemudian melanjutkan studinya ke Sekolah Guru Negeri (Kweekschool) di fortress de Kock (Bukittinggi) dan lulus pada tahun 1913 dengan prestasi yang sangat memuaskan.

Mengikuti saran Tuan Horensma, Tan Malaka meneruskan pendidikannya di Rijkskweekschool (sekolah pendidikan guru negeri) di Belanda. Setelah berlalu lima tahun, tepatnya pada bulan Oktober 1913, ketika usianya mencapai 26 tahun, Tan Malaka meninggalkan desanya dan berangkat ke Belanda untuk mengejar ilmu di Rijkskweekschool (Sekolah Pendidikan Guru Pemerintah).

Selama masa kuliahnya di Belanda, terjadi perubahan drastis dalam pola pikirnya. Pengetahuannya tentang dunia luar, terutama dalam hal revolusi, semakin tertanam dalam pikirannya. Pengetahuan ini diperolehnya setelah membaca buku tentang Fransche Revolutie.

Tak hanya itu, pada saat yang sama, peristiwa revolusi di Uni Soviet (kini Rusia) sedang berlangsung. Kejadian ini mendorongnya untuk mendalami paham sosialisme dan komunisme secara serius, dengan membaca karya-karya dari tokoh seperti Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Di tengah-tengah perjalanan pembelajarannya ini, ia juga berkesempatan bertemu secara langsung dengan berbagai tokoh sosialis dan demokrat.

Setelah berhasil menyelesaikan studi dan lulus pada tahun 1919, Tan Malaka kembali ke Indonesia dan segera menuju kampung halamannya. Tidak lama kemudian, ia diberikan kesempatan untuk mengajar anak-anak kuli petani di perkebunan teh di Deli, Sumatera Utara. Setelah menghabiskan enam tahun dalam pendidikan di Belanda, menjelang akhir tahun 1919, Tan Malaka diberi tawaran oleh Dr. CW Janssen untuk menjadi guru di sebuah perkebunan kuli kontrak di Tanjung Morawa, Deli. Dorongan untuk melunasi utang kepada guru Horensma dan keinginan tulus untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak sebaya mendorong Tan Malaka berlayar menuju Indonesia dan menerima tawaran tersebut.

Setibanya di Deli, Tan Malaka mendapati situasi yang bertolak belakang dengan harapannya. Ia melihat buruh-buruh di perkebunan tersebut hidup dalam kondisi yang tidak layak. Ia mengkritik kekejaman sistem kapitalis, sehingga ia menyebutnya sebagai "tanah emas," tempat surga bagi kaum kapitalis namun menjadi tanah keringat, air mata, dan maut bagi kaum proletar, seperti yang diungkapkan dalam buku "Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia" oleh Harry A. Poeze.

Sebagai seorang Inlander yang berpendidikan, Tan Malaka memiliki niat untuk melakukan perubahan. Selama bekerja di perkebunan tersebut (Desember 1919-Juni 1921), ia sering terlibat perdebatan dengan orang-orang Belanda, terutama terkait sistem pendidikan dan perlakuan terhadap anak-anak kuli kontrak di Tanjung Morawa.

Dalam buku "Dari Penjara Ke Penjara I," Tan Malaka mencatat bahwa pertentangannya dengan orang-orang Belanda terfokus pada empat masalah utama. Pertama, perbedaan warna kulit; kedua, pendidikan anak-anak kuli; ketiga, peran dalam penulisan surat kabar di Deli; dan keempat, hubungannya dengan kuli-kuli perkebunan.

Situasi ini mendorongnya untuk menerapkan pemahaman sosialis-komunis yang diperolehnya selama belajar di luar negeri. Namun, karena kondisi di Sumatra dianggap tidak mendukung untuk menjawab tantangan tersebut secara finest, Tan Malaka akhirnya meninggalkan Sumatra dan pergi ke Pulau Jawa.

Pergerakan Tan Malaka

Pada akhir Februari 1921, Tan Malaka tiba di Batavia (sekarang Jakarta) dan setelah itu melanjutkan perjalanannya ke Yogyakarta untuk bertemu dengan Sutopo. Melalui pertemuan tersebut, Tan Malaka diperkenalkan kepada tokoh-tokoh gerakan rakyat dalam Sarekat Islam (SI) seperti Tjokroaminoto, Semaun, dan Darsono.

Dengan jaringan baru yang dibangun, Tan Malaka semakin menyadari potensi besar untuk menerapkan gagasan sosialis-komunis. Ia berupaya mengaplikasikan prinsip-prinsip sosialis-komunis ini sebagai sarana untuk membela dan meningkatkan martabat bangsanya yang sedang tertindas.

Peran serta Tan Malaka dalam menyebarkan gagasan kemerdekaan Indonesia membawanya menghadapi konsekuensi-konsekuensi berat. Pemerintahan penjajahan Belanda, yang ingin menjaga repute quo, menganggap kehadiran Tan Malaka dan aktivitasnya sebagai ancaman yang signifikan.

Dalam upaya mempertahankan kekuasaan, pemerintah akhirnya mengambil langkah tegas. Tan Malaka ditangkap dan akhirnya diasingkan ke Belanda. 

Akhir Perjuangan Tan Malaka

Tan Malaka memiliki semangat sosialis dan politis yang tinggi. Pada tahun 1921, Tan Malaka berangkat ke Semarang untuk memulai perjalanan di dunia politik. Kontribusinya di ranah politik sangat mengesankan. Hal ini diperkuat oleh pemikiran berbobot yang dimiliki Tan Malaka, yang berperan penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Tan Malaka menghadapi berbagai rintangan dan tantangan dalam upayanya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Mulai dari penangkapan dan pembuangan ke Kupang, pengusiran dari tanah air, seringnya konflik dengan Partai Komunis Indonesia, hingga diduga sebagai dalang di balik penculikan Sutan Sjahrir pada Juni 1946.

Tan Malaka juga memiliki peran penting dalam berbagai organisasi dan partai. Dia mendirikan Partai PARI pada tahun 1927, Partai Murba pada tahun 1948, serta mendirikan sekolah dan mengajar di China pada tahun 1936 dan di sekolah tinggi di Singapura. Salah satu perannya yang sangat important adalah pada tahun 1945, ketika Tan Malaka mendorong para pemuda yang bekerja dalam bawah tanah saat pendudukan Jepang untuk memulai "Revolusi" yang akhirnya meletus pada tanggal 17 Agustus.

Tan Malaka meninggal di Kediri, Jawa Timur, pada tanggal 19 Februari 1949. Sebagian besar hidupnya dihabiskan dalam pengasingan di luar Indonesia. Pada tanggal 23 Maret 1963, pemerintah Indonesia menetapkan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional melalui Keputusan Presiden RI No. Fifty three.

Tan Malaka, serupa bintang berkelip di relung malam sejarah. Nama dan semangatmu tetap berkumandang, mengajak masa depan meraih cita. Walau jasad meredup, jejakmu terukir abadi di rantai waktu yang tak terhapus.

Nah, itulah penjelasan terkait Membangkitkan Kembali Sejarah yang Tenggelam: Tan Malaka, Pahlawan Revolusioner Yang Terlupakan.

Semoga artikel ini bermanfaat dan jangan lupa membaca artikel lainnya hanya di gadingfebina24.my.id ya!


Lebih baru Lebih lama