Kisah Inspiratif dr Tirta dari Menjual Gorengan Hingga Menjadi Dokter dan Kini Menjadi Pengusaha Sukses

 

Tirta Mandira Hudhi atau lebih dikenal dengan Dokter Tirta. Lahir di Solo, Jawa Tengah pada tanggal 30 Juli 1991. Memang dikenal sebagai dokter yang nyentrik dan gaul. Dr. Tirta, merupakan salah satu pebisnis sukses yang bergerak di bidang cuci sepatu, yang kini sudah lebih dari 80 cabang yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Dalam banyak kesempatan, ia sering terlihat dengan rambutnya yang di cat, bertato dan cara bicaranya yang ceplas-ceplos membuat sebagian orang tidak percaya bahwa dirinya adalah seorang dokter. Dr. Tirta terlahir dari keluarga yang tidak kaya, orang tua nya hanya merupakan karyawan swasta. Tirta mengungkapkan jika dirinya terlahir dari orang tua yang berbeda keyakinan. Saat di bangku sekolah, identitas agama Tirta di kartu keluarganya kosong alias tak diisi. Sejak kecil, Tirta sendiri telah belajar tentang beberapa agama. Namun, di kampusnya lah, Tirta mulai belajar banyak hal dan memutuskan mualaf.

Pendidikan

Sebagai anak tunggal, pria kelahiran 30 Juli 1991 itu selalu ditarget oleh orang tuanya untuk mengikuti berbagai macam olimpiade dan dirinya selalu mendapat ranking 3 besar di masa sekolahnya. Dilatarbelakangi hal ini, membawa Tirta masuk ke Fakultas Kedokteran UGM. Namun, ada hal yang baru disadari olehnya kalau perjalanan menjadi dokter itu panjang. Saat kuliah, dosennya berpesan kalau menjadi dokter itu untuk menolong pasien bukan mengharapkan uang. Dari situ dirinya berpikir kalau tidak bisa mencari uang melalui jalan kedokteran karena memakan waktu 6 tahun bahkan lebih. Akhirnya, ia belajar mencari uang sendiri ditambah lagi keinginannya untuk membeli sepatu. Pada saat itu, ia pernah minta dibelikan sepatu ke orang tuanya seharga Rp 2 juta, namun karena terlalu mahal akhirnya dibelikan sepatu yang seharga Rp 100 ribu.

Melihat Peluang dan Menjadi Pengusaha

Ia melihat peluang untuk menjalankan usaha pertamanya dari banyaknya mahasiswa yang tidak sempat sarapan karena perkuliahan dimulai jam 7 pagi hingga jam 3 sore. Hanya ada waktu jeda untuk ibadah. Akhirnya, Tirta menjajakan gorengan yang ia beli dari orang Rp 400 per biji. Karena kantin jauh, ia jual 5x lipat lebih mahal. Kesehariannya, Tirta bangun jam 4 pagi buat beli gorengan, lanjut tidur dan belajar. Ketika jam 7 pagi, ia berangkat ke kampus sambil berjualan gorengan. Tentunya, saat menekuni profesi ini ada yang mengejeknya, tapi Tirta tetap konsisten sehingga berhasil mendapatkan keuntungan. Keuntungan yang ia dapatkan dari hasil gorengan, Tirta lanjut untuk dagang barang lain. Saat itu, ia berjualan aksesori yang sedang tren, gelang Power Balance dan juga jam Monol. Saking laris dagangannya dan banyak yang antre, ia pernah diusir satpam karena berjualan di area kampus.

Salah Mengelola Keuangan

Setelah itu, Tirta merasa sudah memiliki segalanya. Dari berjualan jam Monol, ia mendapatkan keuntungan Rp 36 juta, semester 1 hingga 3 mendapatkan indeks prestasi (IP) 4, dari sini ia menjadi sosok yang arogan hingga membawanya pada kebangkrutan. Ia menjalankan bisnis sepatu dengan memberikan semua uangnya ke supplier dan hanya menyisakan Rp 700 ribu di kantongnya. Tirta menganggap kalau semua yang dijual olehnya akan laris manis. Tapi, kali ini tebakannya salah, ia harus merugi karena barang yang datang tidak sesuai harapannya. Dengan sisa uang Rp 700 ribu, ia harus menghidupi dirinya sendiri yang masih kuliah. Bahkan Tirta harus bertahan hidup dengan mengonsumsi makanan yang kurang layak. Ia makan nasi sisa dari warung, pernah makan roti tawar yang basi, dan makan mi instan yang dibagi dua dengan dicampur nasi aking.

Bangkrut, Bangkit, dan Berhasil

Sampai akhirnya nilai Tirta menurun dan sudah tidak kuat lagi, lalu ia mengadu ke ayahnya. Awalnya, respons sang ayah tidak memberikan dukungan, tapi ayahnya punya cara sendiri dengan membuat Tirta bisa bangkit lagi dari keterpurukannya. Karena sang Ayah, Tirta bisa bangkit untuk memperbaiki nilainya serta memulai bisnisnya. Dari sepatu bekas yang tersisa, ia cuci lagi dan itulah awal mula Shoes and Care didirikan. Lambat laun, jasa laundry sepatu itu menjadi sukses. Tirta mencoba melebarkan usahanya dengan nekat ke Jakarta untuk menyewa toko di kawasan Blok M. Setibanya di Jakarta, ia bisa membayar sewa toko, tapi ia tidak bisa kembali ke Yogyakarta karena uangnya sudah habis untuk merenovasi tokonya. Tirta harus tidur di depan ruko selama dua minggu berturut-turut. Di sinilah, ia kenal dengan orang-orang jalanan, dari kuli bangunan hingga anak punk. Tirta menawarkan mereka bekerja di tokonya untuk mencuci sepatu dan akhirnya ia bisa kembali ke Yogyakarta.

Saat ini, Shoes and Care menjadi jasa perawatan sepatu premium yang memiliki 35 workshop tersebar di 20 kota Indonesia. Pelanggannya ada yang berasal dari Australia, Singapura, Malaysia, dan Amsterdam. Hebatnya lagi, Tirta juga mempekerjakan orang-orang jalanan di tokonya. Bahkan, ia tidak membuat persyaratan minimal pendidikan. Karena prinsipnya, pria yang punya julukan Cipeng itu ingin membuka kesempatan seluas-luasnya untuk mereka yang tidak sekolah atau putus sekolah bisa mendapatkan pekerjaan.

Lebih baru Lebih lama